Minggu, 20 Februari 2011

Wah, HTM Film Asing Bisa Naik 200 Persen


Kebijakan bea masuk film asing (impor) yang melahirkan protes dari Motion Picture Association (MPA) of America atau asosiasi produser Amerika dengan cara menghentikan peredaran film Hollywood ke Indonesia dipastikan berakibat tidak akan ada lagi film-film kaliber dunia yang beredar di bioskop-bioskop di Tanah Air.
Tindakan ini diambil lantaran MPA merasa keberatan dengan peraturan pajak bea masuk atas hak distribusi film impor di Indonesia yang berlaku efektif bulan kemarin. MPA protes dan menilai produk mereka seharusnya bebas bea masuk impor.
Heri Kristiono selaku Direktur Teknis Kepabeanan mengatakan, pengenaan bea masuk bukan hal baru, melainkan aturan lama yang mengacu pada ratifikasi Artikel 7 kesepakatan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Persetujuan Pembentukan WTO menyatakan tidak ada larangan tindakan proteksi terhadap industri domestik melalui proteksi tarif. Termasuk terhadap barang dagangan yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual, di mana film termasuk di dalamnya.
Sebenarnya, bagaimana itung-itungan yang harus dipikul oleh importir film tersebut? Menurut sebuah sumber dari kalangan Pengusaha Bioskop Indonesia, aturan main yang diberlakukan adalah seperti ini: impor film disepadankan dengan impor barang senilai 23,75 persen, ditambah 23,75 persen dari eksploitasi di bioskop, ditambah 15 persen PPh serta pajak tontonan 10-15 persen.
"Jadi, di luar bea masuk barang, MPA harus membayar 23,75 persen + 15 persen + 10 persen = 48,75 persen dari total penerimaan. Itu artinya, HTM nantinya harus dinaikkan sebesar 200 persen," demikian sumber yang tak mau disebut jati dirinya itu menuturkan.  
Gerah oleh protes banyak kalangan, Kementerian Keuangan berjanji segera menyelesaikan polemik pemberlakuan bea masuk atas hak distribusi film impor.
Bahkan Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, pembahasan masalah ini tidak hanya dilakukan di internal pemerintah, melainkan juga melibatkan pengusaha industri perfilman, terutama importir film asing.
Bambang memang belum dapat menjanjikan aturan baru ini akan direvisi, bahkan dicabut lantaran respons yang cukup keras. Saat ini pemerintah tengah mencari pokok persoalan terkait pemberlakuan bea masuk atas hak distribusi film impor. “Kita tunggu saja keputusannya pekan depan. Ditjen Bea Cukai, Ditjen Pajak akan menyelesaikan,” ujarnya. “Yang pasti pemerintah bertujuan mencari jalan tengah, bukan menghalangi impor film asing," tambahnya.
Seperti diketahui, kebijakan bea masuk film impor sendiri tertuang dalam SE-03/PJ/2011 tentang Pajak Penghasilan (PPh) atas penghasilan royalti dan perlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas peredaran film impor. Pihak distributor juga dibebani tarif PPN dan PPh atas film impor flat sebesar 0,43 dollar AS atau setara Rp 3.870 per meter.
Menurut juru bicara Ketua Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia, Noorca Massardi, kepadaKompas.com, Minggu (20/2), tidak hanya peredaran film Hollywood yang distop. Film Bollywood dan Mandarin pun juga tak memungkinkan beredar di bioskop Indonesia.
Noorca mengungkap, bea masuk atas hak distribusi tidak lazim dalam bisnis film di seluruh dunia.
Bea masuk, kata dia, hanya berlaku untuk barang impor, bukan hak distribusi. Sumber lain menyebut, jika negosiasi antara pemerintah dan MPA terjadi, yang akan dibahas adalah bea masuk barang sebesar 23,75 persen, sementara bea masuk distribusi yang tidak lazim itu akan dicabut. Namun, PPh tetap akan dinaikkan antara 15 persen dan 40 persen.
"Nah, kalau PPh yang dinaikkan, tidak akan ada yang keberatan karena lazim dan itu akan dibebankan langsung kepada penonton dengan kenaikan HTM," sambung sumber di atas.
Memang, solusi paling sederhana adalah membeli VCD atau DVD film-film asing. Namun, di sisi lain, media bioskop adalah juga sebuah melting point bagi masyarakat untuk bersosialisasi.
Atau menurut bahasa penulis buku Awas Kucing Hilang, Rayni, "Ke bioskop adalah sebuah ritual, ke bioskop untuk menonton segala macam aspek: merasakan, memahami, melihat, membayangkan, menggetarkan, menenangkan, dan menghibur."


Sumber: KOMPAS.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Advertise